Selasa, 18 Oktober 2011

PERKEMBANGAN SOSIOLOGI DI INDONESIA


Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ki Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Perang Dunia ke dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.
C. Tokoh Sosiologi di Indonesia
Banyak nama atau orang Indonesia yang menjadi ahli atau sosiolog besar dalam perkembangan sosiologi di Indonesi. Diantaranya adalah Prof. Dr. Selo Soemardjan, Prof Dr Paulus Wirutomo dan Arief Budiman. Berikut biografi singkat dan peran – peran tokoh tersebut dalam perkembangan sosiologi di Indonesia :
1. Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan atau Bapak Sosiologi Indonesia
Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan (lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915 – meninggal di Jakarta, 11 Juni 2003 pada umur 88 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia. Beliau juga disebut sebagai Bapak Sosiologi Indonesia.
Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.
Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa.
Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
Pendidikan yang ditempuh oleh Selo Soemardjan adalah HIS, Yogyakarta (1921-1928), MULO, Yogyakarta (1928-1931), MOSVIA, Magelang (1931-1934), kemudian dilanjutkan di Universitas Cornell, Ithaca, New York, AS (Sarjana, 1959 Doktor, 1959)
Perjalanan karirnya meningkat setahap demi setahap sebagai berikut
- Pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1935-1949)
- Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya (1949-1950)
- Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri (1950-1956)
- Sekretaris Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (1959- 1961)
- Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
- Sekretaris Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri (1966-1973)
- Sekretaris Wakil Presiden RI (1973-1978)
- Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978- 1983)
- Staf Ahli Presiden RI (1983-sekarang)
- Guru Besar Universitas Indonesia
Karya yang dihasilkan semasa hidupnya antara lain :
- Social Changes in Yogyakarta (1962)
- Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963)
- Desentralisasi Pemerintahan
Penghargaan yang diterima antara lain
- Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah 17 Agustus 1994
- Gelar ilmuwan utama sosiologi 30 Agustus 1994
- Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002
2. Prof Dr Paulus Wirutomo sang Sosiolog Pendidikan
Prof Dr Paulus Wirutomo sosiolog dan guru besar FISIP Universitas Indonesia. Pria kelahiran Solo, 29 Mei 1949, ini menamatkan sarjana sosiologi dari Universitas Indonesia, 1976. Meraih S2 bidang Perencanaan Sosial dari University College of Swansea Wales, Inggris, 1978 dan S3 bidang Sosiologi Pendidikan dari State University of New York at Albany, USA, 1986.
Dia menjabat Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI, 2005-2009 dan Ketua Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial Pascasarjana UI, 1997-sekarang.
Dalam wawancara dengan Kompas di ruang kerjanya di Kampus FISIP UI Depok, beberapa hari menjelang Idul Fitri 1427 H, Prof Dr Paulus Wirutomo melihat sosial saat ini masih disalahpahami. Menurutnya, pembangunan sosial saat ini masih disalahpahami. Bagi pemerintah, pembangunan sosial hanya dianggap sebagai sektor pembangunan saja. Meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya, kata Paulus, pengertian pembangunan sosial yang benar itu lebih dari sekadar pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat peningkatan interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa terjadi kualitas hubungan sosial dari langkah pembangunan sosial yang diambil, sulit mengatakan adanya pembangunan sosial.
Menurutnya, bukan hanya pemerintah, tetapi sebagian besar kita masih memahami pembangunan sosial itu sekadar charity yang tidak menghasilkan uang. "Mengikuti logika pembangunan sosial sebagai sektor, maka pembangunan sosial ini membutuhkan masukan berupa penyediaan anggaran, perlu pembiayaan. Dan mengikuti pemahaman pembangunan sosial sebagai charity, maka pembangunan sosial itu dianggap sebagai sebuah langkah yang tidak menghasilkan apa pun. Atau paling tidak output-nya dinyatakan tidak menghasilkan uang," jelasnya.
Bahkan, menurut ahli sosiologi pendidikan itu, pendidikan, sama halnya dengan kesehatan dan agama yang juga dianggap pembangunan sosial, terkadang dianggap sebagai anggaran yang habis terpakai tanpa menghasilkan uang. Padahal, ujarnya, pembangunan pendidikan itu akan menghasilkan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang meningkat inilah yang nantinya diharapkan akan menjadi pendorong terjadinya peningkatan kualitas hubungan sosial.
Ditanya tentang adakah usaha yang sudah dilakukan untuk memberikan pemahaman yang betul? Paulus mengatakan bahwa Departemen Sosiologi UI sudah lebih dari 10 tahun terakhir sebenarnya sudah memberikan pemahaman yang betul, melalui pembukaan program manajemen pembangunan sosial. Bahkan, menurutnya, sebenarnya Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault dan Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali merupakan sebagian kecil dari orang Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan manajemen pembangunan sosial di pascasarjana UI.
"Dulu kita membuka program manajemen pembangunan sosial ini karena kita di UI merasakan kok Sosiologi sebagai ilmu enggak punya sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Kami membuat program lanjutan S2, terutama pada pekerja sosial, pembangunan sosial, LSM, dan Bappeda. Ketika itu, kami melihat tenaga Bappeda yang ada, SDM-nya seadanya. Ada yang diambil dengan latar belakang ekonomi, hukum, pertanian, ataupun pakar teknik. Mestinya orang sosial budaya yang punya ilmu untuk pembangunan sosial bisa menyumbangkan pengetahuannya. Dengan membuka program manajemen pembangunan sosial ini diharapkan akan lahir kader manusia Indonesia yang memahami pembangunan sosial dan punya sumbangan besar bagi pembangunan bangsa," jelasnya.
Hasilnya? "Sesudah 10 tahun, kok hasilnya masih kurang dirasakan. Saya berpikir, persoalannya terletak pada inti pembangunan sosial yang ternyata memang belum bisa ditangkap secara baik oleh masyarakat dan terutama oleh pemerintah. Sekali lagi saya tegaskan, inti dari adanya pembangunan sosial adalah kualitas interaksi sosial, dan kualitas hubungan sosial di masyarakat. Interaksi sosial itu sifatnya lebih kasat mata. Misalnya orang berkonflik dengan saling lempar batu, tetapi ada yang lebih mendalam dari interaksi sosial, misalnya hubungan itu antara buruh dan majikan, guru dan murid, rakyat dan pemerintah. Yang menyangkut hubungan kekuasaan, bagaimana kekuasaan yang Anda punya dan yang saya punya, bagaimana kekuasaan yang senjang bisa menghasilkan eksploitasi. Ini yang disebut hubungan sosial," jels Paulus.
Paulus sangat risau dengan perjalanan bangsa yang kualitas hubungan sosialnya sepertinya hanya jalan di tempat. Menurut Paulus, banyak bibit kreatif sumber daya manusia yang telah dimatikan oleh kebijakan nasional yang tidak berpihak pada usaha kreatif. Padahal, usaha kreatif ini mampu memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.
Dia memisalkan: Si A baru lulus kuliah dari teknik industri dan berhasil memproduksi ataupun menciptakan alat pertanian, katakanlah pacul. Persoalan pertama yang dihadapi si A, dia tidak punya dana untuk memproduksi ciptaannya. Sistem perbankan yang ada tidak memungkin-kannya meminjam dari bank karena tidak punya jaminan. Solusi yang mungkin si A lakukan jika tetap ingin memproduksi idenya adalah meminjam uang dari saudara, kenalan, atau dari rentenir. Katakanlah dia berhasil mendapatkan pinjaman dana, lantas dia memulai produksi pacul ciptaannya. Apa yang terjadi kemudian, pemerintah mengimpor pacul dalam jumlah banyak dan dijual dengan harga lebih murah dari harga jual buatan si A. Jelas produksi si A tidak laku, kalah bersaing, dan akhirnya terpaksa menutup usaha produksinya yang menjadi produk kreatif anak bangsa. Karena tutup usaha pada saat belum berkembang, si A meninggalkan utang, hidupnya terbelit utang. Cita-citanya pupus dan tidak banyak yang bisa dilakukannya.
Dia berharap pemerintah sebagai pengambil kebijakan memberikan dukungan pada usaha-usaha anak bangsa yang kreatif untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. "Persoalan ini tidak sulit kalau memang pemerintah mau dan punya keberpihakan pada usaha kreatif. Inilah yang harus dilakukan sekarang, yaitu membuat kebijakan nasional yang berpihak pada usaha kreatif. Tanpa ini, saya kira, bangsa ini akan tetap seperti sekarang, kualitas hubungan sosialnya tidak meningkat